OPINI : Pentingnya Jurnalis Memaknai Tanggungjawab Pers
Oleh: Wahyudi Yunus, SH.MH.
PERS yang bertanggungjawab, sebuah narasi yang terus disuarakan. Bukan hanya dari kalangan pegiat pers, tetapi juga dari kalangan akademisi, pemangku kebijakan hingga masyarakat luas.
Sejak era awal reformasi ketika pers diberikan hak kebebasan, hingga kini di era kemajuan tekhnologi yang memaksa menjamurnya industri media dalam jaringan pers terus dituntut untuk bertanggungjawab.
Meski terus disuarakan, faktanya beberapa peristiwa menyeret pekerja pers masuk ke ranah hukum karena dianggap tidak bertanggungjawab. Khususnya terkait konten pemberitaan yang dianggap merugikan pihak-pihak tertentu.
Itu artinya masih ada saja pers yang belum bertanggungjawab. Dan narasi pers yang bertanggungjawab belum sepenuhnya tercapai di Indonesia. Mungkin bukan gagal, tetapi bisa jadi pekerja pers dan para pihak yang berwenang erhadap pers belum memaknai apa yang dimaksud dengan pers yang bertanggungjawab.
Kasus wartawan yang dihukum karena dianggap lalai dalam menjalankan tugas sebagai pers yang bertanggungjawab diantaranya, kasus wartawan bernama Asrul di Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Ia dilaporkan oleh seorang Pejabat Pemkot Palopo karena merasa dirugikan akibat berita yang ditulis Asrul yang dinilai melanggar Kode Etik Jurnalisitik (KEJ). Akibatnya, Pengadilan Negeri (PN) Palopo memutus perkara, dengan memvonis Asrul bersalah.
Kasus lain terjadi di Kota Sabang, Aceh. Seorang wartawan berinisial TIY alias Popon divonis empat tahun delapan bulan penjara karena terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman terhadap seorang pengusaha konstruksi di Sabang.
Ada juga kasus dua oknum wartawan bernama Mustaqim dan Mamas Arifin. Keduanya dihukum pidana karena memeras narasumber dengan dalih investigasi.
Beberapa kasus ini menjadi pukulan telak bagi insan pers tanah air yang selama ini bekerja secara profesional dan bertanggungjawab. Sekaligus ini menjadi gambaran betapa minimnya kualitas moral oknum-oknum wartawan yang mengesampigkan kode etik jurnalistik sebagai pedoman dalam menjalankan tugas-tugas pers. Sekaligus menggambarkan mudahnya mengeklaim diri sebagai wartawan namun tidak dibekali pemahaman yang cukup terkait pers. Dan yang paling penting, kasus-kasus semacam ini menjadi bukti bahwa insan pers sendiri tidak memaknai pentingnya pers yang bertanggungjawab.
Mengutip pendapat Basuki Kurniawan, Dosen Hukum Tata Negara UIN KHAS Jember, bahwa Menjadi wartawan adalah profesi mulia. Tapi kehormatan profesi ini akan runtuh jika digunakan untuk menekan orang demi keuntungan pribadi.
Kebebesan pers tidak bisa dimaknai sebagai kebebasan absolut yang memungkinkan insan pers bekerja sebebas-bebasnya. Pers yang bertanggung jawab adalah pers yang beroperasi dengan memperhatikan kepentingan publik, menjunjung tinggi etika jurnalistik, dan menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial secara profesional. Ini berarti pers tidak hanya bebas dalam menyampaikan informasi, tetapi juga harus memastikan keakuratan, keberimbangan, dan kebermanfaatan bagi masyarakat.
Pers yang bertanggungjawab sebenarnya bukan untuk mengekang kebebasan pers, melainkan melindungi pers dari persoalan hukum yang dapat menjerat insan pers. Bagi penulis, mewujudkan pers yang bertanggungjawab tidaklah sulit. Cukup dengan mempedomani UU Pokok Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Itu sudah cukup untuk melindungi profesi sekaligus jurnalis.
Pers yang bertanggungjawab sangat penting diterapkan bagi seluruh pekerja pers. Bukan hanya untuk melindungi para jurnalis, melainkan juga untuk menjaga marwah profesi wartawan agar kepercayaan publik tetap terjaga kepada insan pers, serta mengokohkan posisi Pers sebagai pilar demokrasi di Indonesia.
Untuk mewujudkan itu, pers yang bertanggungjawab bukan hanya menjadi beban moril bagi pekerja pers atau jurnalis dan perusahaan media. Tetapi juga menjadi tanggungjawab Dewan Pers sebagai institusi yang memiliki otoritas mengawal profesionalisme dan keberlangsungan pers.
Regulasi yang kuat, edukasi yang maksimal serta pengawsan yang ketat dibutuhkan untuk menciptakan pers yang berkualitas dan bertanggungjawab. Dimulai dari regulasi yang mengatur setiap wartawan wajib mengikuti paling lambat setelah setahun beraktivitas sebagai wartawan adalah solusi. Aturan yang tegas kepada perusahaan media untuk mempekerjakan wartawan kompeten juga perlu diterapkan.
Kemudian disusul dengan eduksi serta pengawasan berkala kepada setiap perusahaan pers. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan keberadaan organisasi perusahaan pers konstituen dewan pers, sebagai perpanjangan tangan Dewan Pers di tingkatan Daerah untuk melakukan edukasi dan pengawasan berkala, minimal setahun sekali.
Jika dari proses pengawasan dan evaluasi terhadap perusahaan pers dan individu jurnalis, ditemukan hal-hal yang bertentangan dengan UU Pokok Pers dan Kode Etik Jurnalistik, maka Dewan Pers harus menyiapkan sanksi tegas, baik kepadaa Perusahaan Pers maupun individu Jurnalis.
Jika itu dilakukan, penulis optimis pers yang bertanggungjawab akan mudah diwujudkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sekaligus memastikan, angka kasus pers yang dihukum dpat ditekan.
Pada intinya, dibutuhkan kolaborasi semua pihak, mulai dari pemerintah, Dewan Pers, Organisasi Perusahaan Pers, Perusahaan Pers, hingga para individu wartawan untuk memastikan Pers yang bertanggungjawab dapat terwujud. Semoga saja. (*)
